Monday, January 15, 2007

Memilih Teman

Memilih Teman, Memilih Masa Depan

"Berkawan seorang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, jauh lebih baik daripada dengan berkawan seorang 'alim yang selalu memperturutkan hawa nafsunya." (Ibnu Atha'illah)
Memilih teman sama artinya dengan memilih masa depan. Memilih teman sama artinya dengan memilih perilaku. Memilih teman sama artinya dengan memilih kualitas ilmu. Maka, siapa pun yang ingin masa depannya cerah, perilakunya menawan hati, serta luas ilmu dan wawasannya, maka ia harus sangat pandai memilih teman.

Kita akan sulit berkembang bila sehari-hari kita bergaul dengan orang-orang malas. Kita pun akan sulit meraih kemuliaan akhlak, bila sehari-hari kita bergaul dengan orang yang buruk akhlaknya. Maka, tinggi rendahnya kualitas seorang manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas orang yang menjadi temannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Seseorang itu adalah menurut agama sahabat (karib)nya. Karena itu, ada baiknya seseorang dari kamu meneliti dulu siapa yang akan dijadikan sahabatnya" (HR Abu Dawud dan At-Turmudzi).

Orang seperti apa yang layak kita jadikan teman dekat? Yang pertama dan utama adalah orang yang baik akhlaknya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya. Bahkan, Imam Ibnu Atha'illah dalam kitab Hikam mengatakan, "Berteman seorang bodoh yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, jauh lebih baik daripada dengan berkawan seorang 'alim yang selalu memperturutkan nafsunya". Mengapa? Orang berilmu tapi memperturutkan hawa nafsu, biasanya akan membenarkan kemaksiatan yang dilakukannya dengan dalil-dalil Alquran dan hadis. Dikhawatirkan, lambat laun kita pun akan membenarkan kemaksiatan tersebut hanya karena bersandar pada dalil-dalil.

Saudaraku, bahaya terbesar dalam hidup adalah diperbudak nafsu. Tidak ada artinya limpahan harta, tinggi jabatan, banyaknya pengikut, tampannya rupa, atau luasnya ilmu, bila kita diperbudak nafsu. Saat diperbudak nafsu, semua yang kita miliki akan digunakan untuk memuaskan nafsu tersebut.

Ada baiknya kita berpikir sejenak, lihat siapa teman-teman dekat kita. Boleh jadi, kualitas diri kita tidak pernah mengalami perubahan karena salah memilih teman. Kita berteman akrab dengan orang-orang yang kualitasnya di bawah kita. Akibatnya, kita merasa paling saleh, paling pintar, dan paling hebat di antara teman-teman kita. Bila demikian, kita tertipu oleh kepintaran semua. Ketika kita salah melihat diri, kita pun akan salah dalam melangkah.

Idealnya kita berteman dengan orang-orang yang kualitasnya jauh lebih baik, sehingga kita tidak merasa paling pintar dan paling saleh. Justeru kita akan merasa paling kurang. Saat berteman dengan orang-orang yang berkualitas, biasanya kita akan terangsang dan termotivasi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Karena itu ada yang mengatakan, kalau kita ingin menjadi ulama maka bergaulah dengan ulama; ingin menjadi pedagang, maka bergaullah dengan para pedagang; ingin menjadi seniman, maka bergaulah dengan seniman.

Saudaraku, setiap hari masalah yang kita hadapi akan semakin berat dan kompleks. Kita akan terpuruk bila banyaknya masalah tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan diri untuk menyelesaikannya. Maka, rugi bila dalam sehari kita tidak bertemu dengan orang yang lebih baik dari kita. Rugi karena kita tidak mendapat ilmu, wawasan, dan semangat baru. Dan celaka bila kita menjauh dan memusuhi orang-orang yang lebih baik dari kita. Wallahu a'lam( KH Abdullah Gymnastiar )

Silaturahmi

Silaturahmi & Kasih Sayang Allah

Allah SWT berfirman dalam sebuah hadis qudsi, "Aku adalah Ar-Rahman. Telah Aku ciptakan Ar-Rahiim dan Aku petikkan baginya nama dari nama-Ku. Barangsiapa yang menghubungkannya niscaya Aku menghubunginya (dengan rahmat-Ku); dan barangsiapa memutuskannya niscaya Aku memutuskan hubungan-Ku dengannya; dan barangsiapa mengokohkannya niscaya Aku mengokohkan pula hubungan-Ku dengannya. Sesungguhnya Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku".

Penjelasan:Hadis qudsi yang agung ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Baihaqi yang bersumber dari Ibnu 'Auf. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Al-Khairithi dan Al-Khatib yang bersumber dari Abu Hurairah. Hadis ini mengandung pesan betapa pentingnya menghubungkan tali silaturahmi. Karena itu, cinta dan keridhaan Allah sangat dipengaruhi oleh sikap kita terhadap silaturahmi. Ada dua sikap manusia terhadap silaturahmi ini. Pertama, washlul-rahiim, yaitu menghubungkan silaturahmi dengan cara berbuat baik (membantu, menolong, membahagiakan, menyantuni) kaum kerabat dan orang-orang di sekitar kita.

Kedua, qath'ur-rahiim, yaitu memutuskan silaturahmi dan tidak menyayangi kaum kerabat dan orang yang dekat dengan kita. Misalkan dengan tidak mau bertegur sapa, menahan kebaikan, atau menyakiti dengan tangan dan ucapan. Rahmat Allah hanya akan mengalir pada golongan pertama yang selalu washlul-rahiim. Sebaliknya, murka Allah akan mengenai golongan kedua. "Tidak akan masuk syurga orang yang memutuskan silaturahmi," demikian sabda Rasulullah SAW dalam Muttafaqun 'Alaihi.

Kata "rahim" diambil dari nama Allah sendiri, diciptakan-Nya dengan kekuasaan-Nya sendiri, dan kedudukannya ditempatkan pada kedudukan tertinggi. Kata rahim adalah kutipan asma' Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahiim, yang berasal dari kata rahmah yang bermakna kasih sayang. Dari sini terlihat bahwa rahim hakikatnya adalah "pecahan" dari sifat Rahman dan Rahim-Nya Allah SWT yang terdapat dalam Asma'ul Husna.

Dalam sebuah hadis qudsi yang bersumber dari Ibnu Abbas diungkapkan, "Engkau telah Aku ciptakan dengan kekuasaan-Ku sendiri, telah Aku petikkan bagimu nama dari nama-Ku sendiri, dan telah Aku dekatkan kedudukanmu kepada-Ku. Dan demi Kemuliaan dan Keagungan-Ku, sesungguhnya Aku pasti akan menghubungi orang yang telah menghubungkan engkau, dan akan memutuskan (rahmat-Ku) pada orang yang telah memutuskan engkau dan aku tidak ridha sebelum engkau ridha" (HQR Al-Hakim).

Silaturahmi, secara umum, terbagi ke dalam dua makna, yaitu silaturahmi dalam arti khusus dan silaturahmi dalam arti umum. "Rahim" yang pertama dipakai dalam arti kaum kerabat, atau yang memiliki hubungan keluarga dan kekeluargaan-baik itu yang berhak mendapatkan warisan ataupun tidak; baik itu termasuk mahram atau bukan. Karena itu, kata rahiim di sini dapat diartikan sebagai kerabat, atau keluarga.

Yang kedua adalah silaturahmi dalam arti hubungan dengan saudara seiman. Bentuknya dapat dijalin melalui kasih sayang, saling menasihati dalam takwa dan kesabaran, tolong menolong di atas jalan ketakwaan (QS. Al-Ashr: 1-3). Atau, bisa pula melalui doa, saling mengunjungi, bahkan memberi bantuan militer bila saudara seiman berada dalam kondisi terancam.
Bila dilihat dalam sudut skala prioritas, menjalin silaturahmi dengan keluarga atau kerabat terdekat harus didahulukan daripada yang lainnya. Sebab, keharmonisan yang lebih besar tidak akan pernah terwujud bila tidak diawali dari keharmonisan dalam skala kecil. Misal mendahulukan akur dan harmonis dengan keluarga dan tetangga dekat, sebelum dengan saudara sekota atau senegara. Wallahu a'lam bish-shawab (Ems)( )

Saturday, January 13, 2007

Tutup dari Yang Mahakasih


Saudaraku, sesungguhnya cinta dan kasih sayang Allah kepada kita sungguh melimpah. Kita tak akan pernah mampu menghitungnya. Salah satunya, Allah Azza wa Jalla memberikan dua "penutup" kepada kita. Pertama, Dia menutup peluang bagi kita untuk berbuat maksiat. Maka sungguh beruntung bila kita selalu gagal berbuat maksiat. Boleh jadi itulah pertolongan dari Allah, sehingga kita tidak tergelincir ke dalam dosa. Bila demikian, segeralah sadar. Ucapkan istighfar atas segala niat buruk yang meresapi hati kita. Sekaligus ucapkan hamdalah atas pertolongan tak terkira itu.

Kedua, Dia menutupi pandangan manusia dari melihat segala kejelekan dan aib-aib yang menempel pada diri. Boleh jadi kita terjerumus ke dalam dosa. Namun dengan kasih sayang-Nya, Allah menutupi dosa-dosa tersebut sehingga tidak terlihat orang lain. Di sinilah sebuah rahasia besar terungkap. Bahwa kita dihargai, disegani, dipuji, dan dimuliakan, bukan karena kita layak mendapatkannya, atau karena memang kita benar-benar mulia. Kita dihargai orang, lebih karena Allah menutupi setiap kesalahan dan aib-aib diri kita. Andai Allah membukakan semua kebusukan diri, tampaknya tidak ada lagi orang yang mau dekat dengan kita. Sesungguhnya, hanya Allah saja yang layak menyandang kemuliaan, pujian dan semua kebaikan. Andai kita mendapatkannya, sungguh itulah "bonus" dari Allah untuk kita.
Dalam Al-Hikam, Ibnu Atha'ilah mengungkapkan, "Siapa yang menghormati kepadamu, sebenarnya hanya menghormati tutup Allah kepadamu. Karena itu, seharusnya pujian itu hanya untuk Allah yang menutupi (kesalahan) engkau, bukan pada orang yang memuji dan berterima kasih kepadamu."

Sayangnya, kita lebih sering menginginkan ditutupi aib dan kesalahan diri, daripada ditutupi dari bermaksiat kepada Allah. Apa sebabnya? Karena takut wibawa dan citra diri kita jatuh di hadapan manusia. Bila kondisi seperti ini menghinggapi, maka kecintaan kita terhadap dunia, masih mengalahkan cinta kita kepada Allah. Susah senang kita masih ditentukan oleh penilaian manusia, bukan oleh penilaian Allah Azza wa Jalla.

Saudaraku, tidak salah jika kita meminta agar Allah menutupi segala kesalahan kita. Namun menginginkan agar dijauhkan dari maksiat tentunya lebih bernilai khusus. Keinginan jenis kedua ini akan menghindarkan kita dari menuhankan manusia. Padahal, tidak ada yang paling dibenci Allah, selain mengadakan sekutu bagi-Nya.

Simaklah kisah berikut. Kelak pada hari Kiamat ada beberapa orang yang dibawa ke surga. Namun setelah melihat segala kesenangan yang ada di dalamnya serta merasakan sedikit kesegarannya, tiba-tiba Allah memerintahkan malaikat untuk menghalau mereka dari surga. Ternyata, surga bukanlah tempat yang disediakan kepada mereka. Tempat mereka yang sebenarnya adalah neraka. Kembalilah mereka dengan keadaan amat terhina dan penuh penyesalan.

Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, andaikan Engkau masukkan kami ke dalam neraka sebelum memperlihatkan kepada kami surga, dengan segala kenikmatan yang Engkau siapkan kepada ahlinya, niscaya akan terasa lebih ringan bagi kami." Dia berfirman, "Kami sengaja melakukan yang demikian. Sebab dahulu, jika kalian sendirian, kalian dengan bebasnya melakukan kemaksiatan. Namun jika bertemu dengan orang-orang, kalian berlagak khusyuk. Kalian takut oleh manusia, namun tidak takut kepada-Ku. Kalian mengagungkan manusia, namun tidak mengangungkan-Ku. Kalian condong kepada manusia, namun tidak condong kepada-Ku. Maka pada hari ini, rasakanlah siksa-Ku, dan diharamkan atasmu segala Rahmat-Ku." Wallaahu a'lam.

( KH Abdullah Gymnastiar )

Sunday, January 7, 2007

MediCguantenG

I'm 23 yo male, I'm a paramedic, and really proud being a medic who give other help thoroughly,
Being a paramedic is a big deal and i just realize it.
You will face and dealing with many different characters of human, so we have to facing them with specially ways each other.
You must explore yourself to find out them, touch them either pshycal and pshyco.
So be confident with the way you are, never regret that has been left you, just go stright.
OOOOOOOOOOOOOkkkkkkkkkkkkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaYYYYYYYYYYYYYY

Allllllowwwwwwwww